Kamis, 21 Juni 2012

Kekejaman westerling di Medan

Memanggal leher pejuang, kepalanya dibawa ke hotel dan ditempatkan dalam keranjang sampah
Satu unit kecil pasukan komando Sekutu, 14 September 1945 diterjunkan di Polonia Medan. Unit ini dipimpin Letnan Westerling disertai tiga orang sersan serdadu Belanda dan seorang serdadu Belanda berkebangsaan Indonesia (Ambon). Bersama unit ini juga didrop 180 pucuk senjata revolver.
Sebelumnya awal Agustus 1945 satu unit pasukan Komando didrop lebih dahulu di hutan-hutan di hulu sungai Aras Napal kira-kira 20 km dari Besitang (Langkat). Unit ini dipimpin Letnan I (Laut) Brondgeest beserta 4 orang anggotanya. Setelah diketahui Jepang menyerah Brondgeest keluar dari persembunyiannya, menyusur sungai dengan perahu Besitang. Kemudian ke P. Brandan menuju Medan.
Letnan I Brondgeest dan Letnan Westerling sama-sama bermarkas di Hotel de Boer (Dharma Deli) Medan, bekerja mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu kontingen pertama tanggal 9 Oktober 1945. Mereka juga bekerja merekrut bekas tentara KNIL (Koninkelijke Nederlands Indische Leger), untuk menjadi serdadu NICA (Nederlands Indie Civil Administration) satu badan pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dibentuk Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J.Van Mook dengan pembantu utamanya Ch.O Van der Plas yang waktu itu berkedudukan di Australia.
Mereka yang direkrut masing-masing ditampung di “Pension Wilhemia di Jalan Bali Medan (Jl. Veteran) sedangkan di P. Siantar mereka dipoolkan di Siantar Hotel. Kedua orang ini melakukan provokasi dengan maksud mematahkan semangat para pemuda pejuang yang telah bergabung dalam berbagai badan kelasykaran dan BPI (Barisan Pemuda Indonesia).
Provokasi dilakukan serdadu NICA oleh bekas tentara KNIL mereka melepaskan tembakan terhadap pemuda yang menaikkan bendera Merah Putih di depan stasiun Besar Medan juga mereka menembaki penjual sayur di dekat stasiun kereta api.
Merah Putih diinjak-injak
Provokasi lain terjadi di Jl Bali. Ada sebuah rumah panggung peninggalan DSM, digunakan NICA untuk menampung bekas tentara KNIL yang direkrut, tempat itu dinamakan “Pension Wilhelmina. Di pintu masuk ada penjagaan yang dilakukan oleh seorang serdadu NICA. Kebetulan lewat seorang pemuda tanggung yang menjaja pakaian bekas (langsam).
Waktu itu sekitar jalan Bali itu banyak penjual pakaian bekas. Kebetulan pemuda tanggung itu dengan bangganya memasang lencana Merah Putih di dadanya yang terbuat dari seng. Lencana itu ditarik dari dada anak muda itu dan disuruh telan, dia menolak. Lencana itu jatuh ke tanah dan diinjak-injak oleh serdadu NICA itu. Kemudian anak itu dipukuli hingga babak belur. Anak tersebut lari dan memberitahukan kepada penjual pakaian bekas lainnya. Kemarahan masyarakat tidak terbendung.
Orang ramai yang marah telah berkumpul di depan “Pension Wilhelmina” tiba-tiba sebuah kendaraan yang lari kencang lewat di jalan Sutomo yang ditumpangi dua orang serdadu Belanda. Diduga salah seorangnya adalah Westerling, melepaskan tembakan ke arah kerumunan orang yang sedang marah itu. Melihat ada pemuda yang tersungkur kena tembakan, maka penyerbuan segera terjadi dengan senjata apa adanya.
Masyarakat yang ada di Pusat Pasar bergegas menuju “Pension Wilhelmina” untuk melakukan penyerbuan, dengan mengambil apa saja pemilik toko yang menjual alat-alat pertanian seperti Toko Pase, dan Toko Peusangan, menyerahkan semua alat-alat pertanian seperti, parang, pisau, garuk, lembing dan sebagainya kepada mereka yang hendak menyerbu. Dalam penyerbuan itu terjadi perkelahian satu lawan satu, saling bacok dan saling tikam tidak ada yang menghiraukan keselamatan jiwa mereka.
Hal ini diketahui Inggris dan meminta kepada pasukan Jepang untuk melakukan pengamanan. Kemudian menyusul datang Achmad Tahir Ketua I BPI untuk mengatasi situasi. Untuk sementara waktu dapat diredakan, tentara NICA masih berkumpul di dalam “Pension Wilhelmina” sementara massa berkumpul di luar makin lama makin bertambah.
Sekitar jam 15.00 tentara NICA yang ada dalam ‘Pension Wilhelmina” melepaskan tembakan ke arah kerumunan massa. Begitu terdengar tembakan, massa yang begitu banyak yang sedang marah kembali menyerbu ke dalam. Perkelahian satu lawan satu terjadi lagi, saling becok tikam dan tusukan lembing dan bambu runcing menghujam serdadu-serdadu NICA itu. Serdadu NICA yang berada dalam jarak tembak melepaskan tembakan. Ada tembakan senapan mesin dari Pesanggerahan Sultan Serdang yang diarahkan ke Pension Wilhelmina tembakan itu dilepaskan oleh anggota Gyugun Wiji Aliysah. Karena penyerbuan itu, Pension Wilhelmina porak poranda. Serdadu NICA itu melarikan diri lewat Titi Gantung minta perlindungan kepada tentara Inggris.
Menurut buku “Medan Area Mengisi Proklamasi” (1976) jumlah tentara NICA yang tewas 7 orang seorang perwira Belanda, 90 orang lelaki dan wanita luka berat dan ringan. Beberapa pucuk senjata pistol dan karaben dapat dibawa oleh penyerbu. Jumlah pihak kita yang gugur tidak diketahui dengan pasti, tapi sejumlah penyerbu ada yang gugur dan luka-luka berat.
Menurut keterangan M.Syafii Ketua Aceh Sepakat 1932, ada 7 orang pemuda Aceh yang gugur dalam penyerbuan. Empat orang pemuda Aceh dikuburkan di Perkuburan Jl. Thamrin dan tiga orang lagi dikuburkan di perkuburan di Jalan Halat Medan.
Salah seorang di antara yang turut melakukan penyerbuan bernama F. Hutapea. Dalam satu wawancara dengan kami tahun 1979 menyatakan ketika penyerbuan itu mereka tidak ada yang takut mati. F.Hutapea selanjutnya menyatakan setelah penyerbuan itu usai dia dan teman-temannya mengembalikan parang-parang yang masih berdarah kepada pemilik toko yang menjual alat-alat pertanian.
Pada tanggal 15 Oktober 1945 terjadi insiden di Siantar Hotel yang menyebabkan gugur seorang pemuda bernama Raja Gukguk. Siantar Hotel diserbu dan dibakar oleh para pemuda. Akhir tentara NICA yang ada di Siantar Hotel ditarik ke Medan.
Westerling penggal leher pejuang
Westerling bertugas sebagai Kepala Dinas Kontra Speonase Belanda. Di Medan dia menjadikan dirinya sebagai diktator dan menyusun dinas rahasia setengah pulau Sumatera, K’tut Tantri dalam bukunya “Revolusi Nusa Damai” (1964:344) menulis sebagai berikut : Ketika pecah Perang Dunia Kedua, Westerling tinggal di Rotterdam. Ia melarikan diri ke Inggris, masuk dalam tentara Belanda berjuang bersama-sama dengan tentara Inggris dengan pangkat Sersan Mayor. Di tahun 1942 menjadi pengawal pribadi Lord Moutbatten. Pekerjaan ini tidak disenanginya karena tidak kenal istirahat. Kemudian dengan sukarela dia berjuang di Birma dan memperoleh pengangkatan dalam pasukan.
Ketika pasukan Inggris mendarat di Medan, ada perwira Inggris yang terkejut, berjumpa dengan Westerling. Dia dikenal orang yang jahat. Menurut Tantri, seorang perwira Inggris pernah menulis dalam salah satu harian di Singapura yang isinya sebagai berikut :
“Saya menemui Westerling di pemondokannya (Hotel De Boer kamar Panggung) dan kami minum kopi. Sekonyong-konyong Westerling mengeluarkan kepala orang Indonesia dalam keranjang sampah dan mengatakan. Dinas rahasia saya mengikuti jejak pengacau ini dan mengetahui rumahnya. Saya berpakaian seperti rakyat biasa dan menutup muka dengan topeng. Setan itu masuk ke rumahnya. Saya bersembunyi di sudut kamar tidurnya dan menunggunya sampai dia pulang, dia membeku ketakutan. Dia kupegang dan kusampaikan kepadanya bahwa malam itu adalah harinya terakhir di dunia ini. Kuberi dia makan dan aku mengurungnya dalam kamar mandi. Jam empat pagi aku masuk dan aku menyuruhnya berbalik belakang. Sekali penggal dengan pedangku memisahkan kepala dari badannya’.
Ini adalah suatu fakta “aksi” kekejaman Westerling di Medan kemudian dia dipindahkan ke Jawa. Westerling juga melakukan kekejaman pembunuhan dan teror di Bandung. Sesudah itu dia dikirim ke Sulawesi Selatan. Untuk memadamkan pemberontakan rakyat yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Westerling melakukannya pembunuhan dengan cara tidak kenal ampun dan sangat kejam. Perempuan dan anak-anak yang pulang dari pasar, lelaki di tengah jalan ditembak semuanya. Rakyat ditangkap secara membabi buta kemudian ditembak. Sebuah kampung disapu bersih. Lelaki dipaksa menggali lubang untuk kuburannya dari pembunuhan besar-besaran yang menyusul setelah itu.
Indonesia memprotes keras terhadap perbuatan keji itu dan Belanda harus bertanggungjawab atas kematian 30.000 orang di Sulawesi Selatan. Tindakan di luar perikemanusiaan itu telah menimbulkan reaksi dunia. Belanda terpaksa mengirim komisinya ke Indonesia. Sungguhpun laporan komisi itu tidak pernah disiarkan. Belanda mengambil kesimpulan Westerling “hanya” bertanggungjawab terhadap 4000 atau 5000 orang bukan 30.000 orang.
Tapi Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan 30.000 orang. Pemerintah Indonesia mencari tempat persembunyiannya Westerling ketika hendak ditangkap dia melarikan diri melalui Singapura, kembali ke negeri Belanda, dia mati dalam keadaan setengah gila. ( Muhammad TWH : Penulis adalah wartawan senior pemerhati sejarah )

Sumber : Waspada Medan