Memanggal leher pejuang, kepalanya dibawa ke hotel dan ditempatkan dalam keranjang sampah
Satu unit
kecil pasukan komando Sekutu, 14 September 1945 diterjunkan di Polonia
Medan. Unit ini dipimpin Letnan Westerling disertai tiga orang sersan
serdadu Belanda dan seorang serdadu Belanda berkebangsaan Indonesia
(Ambon). Bersama unit ini juga didrop 180 pucuk senjata revolver.
Sebelumnya awal Agustus 1945 satu unit pasukan Komando didrop
lebih dahulu di hutan-hutan di hulu sungai Aras Napal kira-kira 20 km
dari Besitang (Langkat). Unit ini dipimpin Letnan I (Laut) Brondgeest
beserta 4 orang anggotanya. Setelah diketahui Jepang menyerah Brondgeest
keluar dari persembunyiannya, menyusur sungai dengan perahu Besitang.
Kemudian ke P. Brandan menuju Medan.
Letnan
I Brondgeest dan Letnan Westerling sama-sama bermarkas di Hotel de Boer
(Dharma Deli) Medan, bekerja mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu
kontingen pertama tanggal 9 Oktober 1945. Mereka juga bekerja merekrut
bekas tentara KNIL (Koninkelijke Nederlands Indische Leger), untuk
menjadi serdadu NICA (Nederlands Indie Civil Administration)
satu badan pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dibentuk Letnan
Gubernur Jenderal Dr. H.J.Van Mook dengan pembantu utamanya Ch.O Van der
Plas yang waktu itu berkedudukan di Australia.
Mereka
yang direkrut masing-masing ditampung di “Pension Wilhemia di Jalan
Bali Medan (Jl. Veteran) sedangkan di P. Siantar mereka dipoolkan di
Siantar Hotel. Kedua orang ini melakukan provokasi dengan maksud
mematahkan semangat para pemuda pejuang yang telah bergabung dalam
berbagai badan kelasykaran dan BPI (Barisan Pemuda Indonesia).
Provokasi
dilakukan serdadu NICA oleh bekas tentara KNIL mereka melepaskan
tembakan terhadap pemuda yang menaikkan bendera Merah Putih di depan
stasiun Besar Medan juga mereka menembaki penjual sayur di dekat stasiun
kereta api.
Merah Putih diinjak-injak
Provokasi lain
terjadi di Jl Bali. Ada sebuah rumah panggung peninggalan DSM,
digunakan NICA untuk menampung bekas tentara KNIL yang direkrut, tempat
itu dinamakan “Pension Wilhelmina. Di pintu masuk ada penjagaan yang
dilakukan oleh seorang serdadu NICA. Kebetulan lewat seorang pemuda
tanggung yang menjaja pakaian bekas (langsam).
Waktu
itu sekitar jalan Bali itu banyak penjual pakaian bekas. Kebetulan
pemuda tanggung itu dengan bangganya memasang lencana Merah Putih di
dadanya yang terbuat dari seng. Lencana itu ditarik dari dada anak muda
itu dan disuruh telan, dia menolak. Lencana itu jatuh ke tanah dan
diinjak-injak oleh serdadu NICA itu. Kemudian anak itu dipukuli hingga
babak belur. Anak tersebut lari dan memberitahukan kepada penjual
pakaian bekas lainnya. Kemarahan masyarakat tidak terbendung.
Orang
ramai yang marah telah berkumpul di depan “Pension Wilhelmina”
tiba-tiba sebuah kendaraan yang lari kencang lewat di jalan Sutomo yang
ditumpangi dua orang serdadu Belanda. Diduga salah seorangnya adalah
Westerling, melepaskan tembakan ke arah kerumunan orang yang sedang
marah itu. Melihat ada pemuda yang tersungkur kena tembakan, maka
penyerbuan segera terjadi dengan senjata apa adanya.
Masyarakat
yang ada di Pusat Pasar bergegas menuju “Pension Wilhelmina” untuk
melakukan penyerbuan, dengan mengambil apa saja pemilik toko yang
menjual alat-alat pertanian seperti Toko Pase, dan Toko Peusangan,
menyerahkan semua alat-alat pertanian seperti, parang, pisau, garuk,
lembing dan sebagainya kepada mereka yang hendak menyerbu. Dalam
penyerbuan itu terjadi perkelahian satu lawan satu, saling bacok dan
saling tikam tidak ada yang menghiraukan keselamatan jiwa mereka.
Hal
ini diketahui Inggris dan meminta kepada pasukan Jepang untuk melakukan
pengamanan. Kemudian menyusul datang Achmad Tahir Ketua I BPI untuk
mengatasi situasi. Untuk sementara waktu dapat diredakan, tentara NICA
masih berkumpul di dalam “Pension Wilhelmina” sementara massa berkumpul
di luar makin lama makin bertambah.
Sekitar
jam 15.00 tentara NICA yang ada dalam ‘Pension Wilhelmina” melepaskan
tembakan ke arah kerumunan massa. Begitu terdengar tembakan, massa yang
begitu banyak yang sedang marah kembali menyerbu ke dalam. Perkelahian
satu lawan satu terjadi lagi, saling becok tikam dan tusukan lembing dan
bambu runcing menghujam serdadu-serdadu NICA itu. Serdadu NICA yang
berada dalam jarak tembak melepaskan tembakan. Ada tembakan senapan
mesin dari Pesanggerahan Sultan Serdang yang diarahkan ke Pension
Wilhelmina tembakan itu dilepaskan oleh anggota Gyugun Wiji Aliysah.
Karena penyerbuan itu, Pension Wilhelmina porak poranda. Serdadu NICA
itu melarikan diri lewat Titi Gantung minta perlindungan kepada tentara
Inggris.
Menurut
buku “Medan Area Mengisi Proklamasi” (1976) jumlah tentara NICA yang
tewas 7 orang seorang perwira Belanda, 90 orang lelaki dan wanita luka
berat dan ringan. Beberapa pucuk senjata pistol dan karaben dapat dibawa
oleh penyerbu. Jumlah pihak kita yang gugur tidak diketahui dengan
pasti, tapi sejumlah penyerbu ada yang gugur dan luka-luka berat.
Menurut
keterangan M.Syafii Ketua Aceh Sepakat 1932, ada 7 orang pemuda Aceh
yang gugur dalam penyerbuan. Empat orang pemuda Aceh dikuburkan di
Perkuburan Jl. Thamrin dan tiga orang lagi dikuburkan di perkuburan di
Jalan Halat Medan.
Salah
seorang di antara yang turut melakukan penyerbuan bernama F. Hutapea.
Dalam satu wawancara dengan kami tahun 1979 menyatakan ketika penyerbuan
itu mereka tidak ada yang takut mati. F.Hutapea selanjutnya menyatakan
setelah penyerbuan itu usai dia dan teman-temannya mengembalikan
parang-parang yang masih berdarah kepada pemilik toko yang menjual
alat-alat pertanian.
Pada
tanggal 15 Oktober 1945 terjadi insiden di Siantar Hotel yang
menyebabkan gugur seorang pemuda bernama Raja Gukguk. Siantar Hotel
diserbu dan dibakar oleh para pemuda. Akhir tentara NICA yang ada di
Siantar Hotel ditarik ke Medan.
Westerling penggal leher pejuang
Westerling
bertugas sebagai Kepala Dinas Kontra Speonase Belanda. Di Medan dia
menjadikan dirinya sebagai diktator dan menyusun dinas rahasia setengah
pulau Sumatera, K’tut Tantri dalam bukunya “Revolusi Nusa Damai”
(1964:344) menulis sebagai berikut : Ketika pecah Perang Dunia Kedua,
Westerling tinggal di Rotterdam. Ia melarikan diri ke Inggris, masuk
dalam tentara Belanda berjuang bersama-sama dengan tentara Inggris
dengan pangkat Sersan Mayor. Di tahun 1942 menjadi pengawal pribadi Lord
Moutbatten. Pekerjaan ini tidak disenanginya karena tidak kenal
istirahat. Kemudian dengan sukarela dia berjuang di Birma dan memperoleh
pengangkatan dalam pasukan.
Ketika
pasukan Inggris mendarat di Medan, ada perwira Inggris yang terkejut,
berjumpa dengan Westerling. Dia dikenal orang yang jahat. Menurut
Tantri, seorang perwira Inggris pernah menulis dalam salah satu harian
di Singapura yang isinya sebagai berikut :
“Saya
menemui Westerling di pemondokannya (Hotel De Boer kamar Panggung) dan
kami minum kopi. Sekonyong-konyong Westerling mengeluarkan kepala orang
Indonesia dalam keranjang sampah dan mengatakan. Dinas rahasia saya
mengikuti jejak pengacau ini dan mengetahui rumahnya. Saya berpakaian
seperti rakyat biasa dan menutup muka dengan topeng. Setan itu masuk ke
rumahnya. Saya bersembunyi di sudut kamar tidurnya dan menunggunya
sampai dia pulang, dia membeku ketakutan. Dia kupegang dan kusampaikan
kepadanya bahwa malam itu adalah harinya terakhir di dunia ini. Kuberi
dia makan dan aku mengurungnya dalam kamar mandi. Jam empat pagi aku
masuk dan aku menyuruhnya berbalik belakang. Sekali penggal dengan
pedangku memisahkan kepala dari badannya’.
Ini adalah suatu fakta “aksi” kekejaman Westerling di Medan kemudian dia dipindahkan
ke Jawa. Westerling juga melakukan kekejaman pembunuhan dan teror di
Bandung. Sesudah itu dia dikirim ke Sulawesi Selatan. Untuk memadamkan
pemberontakan rakyat yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Westerling
melakukannya pembunuhan dengan cara tidak kenal ampun dan sangat kejam.
Perempuan dan anak-anak yang pulang dari pasar, lelaki di tengah jalan
ditembak semuanya. Rakyat ditangkap secara membabi buta kemudian
ditembak. Sebuah kampung disapu bersih. Lelaki dipaksa menggali lubang
untuk kuburannya dari pembunuhan besar-besaran yang menyusul setelah
itu.
Indonesia
memprotes keras terhadap perbuatan keji itu dan Belanda harus
bertanggungjawab atas kematian 30.000 orang di Sulawesi Selatan.
Tindakan di luar perikemanusiaan itu telah menimbulkan reaksi dunia.
Belanda terpaksa mengirim komisinya ke Indonesia. Sungguhpun laporan
komisi itu tidak pernah disiarkan. Belanda mengambil kesimpulan
Westerling “hanya” bertanggungjawab terhadap 4000 atau 5000 orang bukan
30.000 orang.
Tapi
Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan 30.000 orang. Pemerintah
Indonesia mencari tempat persembunyiannya Westerling ketika hendak
ditangkap dia melarikan diri melalui Singapura, kembali ke negeri
Belanda, dia mati dalam keadaan setengah gila. ( Muhammad TWH : Penulis adalah wartawan senior pemerhati sejarah )
Sumber : Waspada Medan